a:hover {background-image: url(https://lh6.googleusercontent.com/-AlOJLqdQbgM/TX8PrNRSMsI/AAAAAAAAAaY/qJhxSdh5tfE/s1600/stars.gif);} SMP N 5 PATI: Emosi Remaja (Siti Annisa M_25)

Newest Post

// Posted by :Unknown // On :Senin, 25 Februari 2013

Emosi adalah suatu respons terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus,yang dapat terjadi baik terhadap perangsang –perangsang eksternal maupun internal (Soegarda Poerbakawatja, 1982).
Perbuatan atau perilaku kita sehari – hari pada umumnya disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, seperti senang atau benci. Perasaan ini selalu menyertai dalam perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna afektif ini kadang kuat, kadang lemah, atau kadang-kadang tidak jelas (samar-samar). Dalam hal ini warna afektif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas, dan lebih terarah. Perasaan – perasaan seperti ini yang disebut emosi (Sarlito, 1982: 59).
Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak senang, dan khawatir kesepian. Pada masa praremaja umumnya terlalu peka dalam menghadapi rangsangan – rangsangan dari luar dan responnya berlebihan sehingga mereka mudah tersinggung dan cengeng tetapi juga cepat senang atau meledak. Emosinya semakin sulit ditebak dan cepat marah dengan cara – cara yang kurang wajar pada periode remaja awal. Kemudian pada periode remaja tengah, mereka semakin meningkatkan tanggung jawab terhadap masalah mereka sendiri. Dan mereka mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunujukkan pemikiran, sikap, perilaku yang semakin dewasa pada periode remaja akhir.
Setiap perkembangan emosi pada masing – masing periode memunculkan sikap dan perilaku yang berbeda – beda yang pada akhirnya akan mengarah pada penemuan jati diri meskipun prosesnya akan panjang.
1. Perubahan Pola Interaksi dengan Orang Tua
Emosi remaja yang sulit ditebak dan terkadang meledak – ledak jika tidak dikontrol maka akan membuat interaksi dengan orang tua menjadi buruk. Apalagi jika orang tua tidak dapat memahami perubahan emosi yang dialami oleh sang anak dan memaksakan kehendak mereka. Anak yang biasanya penurut terhadap semua keinginan orang tua, pada masa remajanya bisa saja merasa jenuh dan pada akhirnya melakukan pemberontakan karena mereka ingin menunjukan pada orang tua bahwa mereka dalam konflik dan ingin melepaskan diri dari pengawasan orang tua.
2. Perubahan Interaksi Dengan Teman Sebaya
Remaja seringkali membangun interaksi sesama teman sebayanya yang di sebut geng. Jika ada salah satu anggota geng yang mengalami masalah dengan seseorang di luar geng tersebut biasanya semua anggota geng tersebut akan memusuhi orang itu dengan alasan kesetiakawanan. Tidak jarang jika mereka saling tidak mengontrol emosi maka akan menimbulkan permusuhan antargeng dan memungkinkan terjadinya tawuran. Sisi baiknya, perkembangan emosi yang sudah terarah akan membantu mereka dalam memilih pergaulan dan menempatkan rasa kesetiakawanan pada tempatnya. Remaja akan belajar memahami berbagai permasalahan di sekitarnya dan bagaimana menyikapinya dengan lebih dewasa.
3. Perubahan Pandangan Luar
Pada masa remaja, mereka akan mulai memikirkan bagaimana pandangan luar terhadap dirinya dan bagaimana dunia ini “bekerja”. Mereka mulai mengkritik kebijakan – kebijakan yang diterapkan oleh orang – orang dewasa yang tidak sesuai dengan pandangannya. Sehingga akan terbentuk pola pikir yang akan mendasarinya menemukan jati diri. Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab, yaitu dengan cara melibatkan remaja ke dalam kegiatan-kegiatan yang merusak dirinya dan melanggar nilai – nilai moral.
4. Perubahan Interaksi dengan Sekolah
Emosi yang tidak terkendali bisa membuat remaja jenuh dengan aktivitas sekolahnya. Jika mereka mengalami sedikit saja konflik dengan teman atau guru, mereka kemudian menyikapinya secara berlebihan yang akan berakibat buruk pada prestasi akademiknya. Namun jika mereka sudah bisa memisahkan antara urusan pribadi dan sekolah, maka itu tidak akan menjadi masalah yang besar.
Perkembangan emosional individu sebenarnya merupakan perkembangan yang paling sulit untuk diklasifikasikan. Munculnya emosi seseorang sangat tergantung atau dipengaruhi lingkungan, pengalaman, dan kebudayaan, sehingga untuk mengukur emosi sangatlah sulit.
Proses perkembangan adalah saat anak menyadari permintaan dan syarat – syarat hidup dalam suatu lingkungan. Meskipun masih dalam lingkungan keluarga, batas – batas dalam bentuk disiplin mulai dapat diberikan. Apabila ini terjadi pada dua anak dalam satu keluarga (seayah/seibu) secara individual, perkembangan emosinya akan jelas bisa berbeda satu sama lain dalam berbagai hal, baik dalam bakat, minat, keadaan jasmani, keadaan sosial, intelejensi, maupun kepribadiannya.
Perkembangan kepribadian dominan terjadi pada remaja dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan emosinya. Menurut Erikson, tahap itu tertata selama remaja sebagai suatu kepedulian utama terhadap identitas dirinya. Hasil pengamatan lapangan, terdapat ragam yang luar biasa dalam perkembangan fisik dan sosioemosional, khususnya selama masa – masa Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Berdasarkan karya Erikson, James Marcia (1980) mengidentifikasi empat status identitas melalui interview mendalam dengan remaja. Damon (1983) telah mengikhtisarkan empat status itu sebagai berikut.
1. Pengalihan identitas (foreclosure) : individu dalam status pengalihan identitas tidak pernah mengalami krisis identitas. Mereka telah membentuk suatu identitas prematur lebih berdasarkan pilihan orang tua mereka daripada identitas mereka sendiri. Mereka telah membuat komitmen pekerjaan dan ideologi, tetapi komitmen ini lebih mencerminkan suatu peniaian tentang apa yang dapat dilakukan figur orang tua atau otoritas anak itu daripada suatu proses otonom anak dalam penilaian diri. Ini merupakan suatu jenis “identitas semu” yang pada umunya terlalu dipaksakan dan kaku untuk difungsikan sebagai dasar menghadapi krisis hidup di masa depan.
2. Kebingungan identitas (identity diffusion) : individu yang mengalami kebingungan identitas tidak menemukan arah pekerjaan atau komitmen ideologi yang mana pun dan mencapai kemajuan kecil ke arah tujuan – tujuan ini. Mereka kemungkinan telah mengalami krisis identitas, dan apabila benar, mereka tidak dapat mengatasinya.
3. Moratorium : Individu yang berada dalam status moratorium adalh individu yang telah mulai melakukan eksperimen dengan pilihan – pilihan pekerjaan dan ideologi namun belum membuat komitmen pasti terhadap salah satu pilihan. Individu ini langsung berada di tengah – tengah suatu krisis identitas dan sedang mencari pilihan – pilihan hidup pengganti.
4. Pencapaian identitas (identity achievement) : Pencapaian identitas menandakan suatu status konsolidasi identitas. Pada tahap ini individu telah sadar akan dirinya sendiri, membuat keputusan – keputusan tegas tentang pekerjaan dan ideologi. Individu itu yakin bahwa keputusan – keputusan itu dibuat berdasarkan otonomi dan kebebasan serta komitmen internal yang dalam.
Pada remaja akhir (usia 18 sampai 22 tahun), individu pada umumnya telah mengembangkan suatu status pencapaian identitas. Status ini mencerminkan emosional remaja tampaknya bertautan dengan status identitas mereka. Sebagai misal, tingkat kecemasan cenderung paling tinggi bagi remaja yang berada pada tahap moratorium dan paling rendah bagi remaja yang berada pada tahap pengalihan identitas. Percaya diri juga beragam, dengan remaja berada pada tahap pencapaian identitas dan moratorium dilaporkan sebagai tahap di mana tingkat percaya dirinya paling tinggi. Sementara remaja yang berada pada tahap pengalihan identitas dan kebingungan identitas dilaporkan tingkat percaya dirinya paling rendah. Pada umumnya, remaja perlu melakukan eksperimen dan tetap luwes apabila mereka harus berhasil menemukan identitas mereka sendiri. Dengan mencoba cara – cara yang mungkin, kemudian menguji dan memodifikasi cara – cara itu, remaja dapat memetik karakteristik yang paling tepat dan menyisihkan yang lain. Untuk melakukan ini, remaja itu harus memiliki rasa percaya diri untuk bereksperimen dan menyatakan suatu eksperimen selesai, untuk mengubah perilaku, dan meninggalkan karakteristik – karakteristik yang tidak cocok, meskipun jika karakteristik – karakteristik itu didukung oleh orang lain. Ini membantu mendapatkan penerimaan yang stabil dari orang tua, guru, dan teman sebaya yang akan menanggapi secara positif eksperimentasi remaja.
Satu tanda pertama dari remaja awal adalah munculnya reflektivitas, kecenderungan untuk berfikir tentang apa yang sedang berkecamuk dalam benak sendiri dan mengkaji diri sendiri. Remaja mulai melihat lebih dekat pada diri mereka sendiri dan menetapkan diri mereka sendiri berbeda. Mereka mulai menyadari bahwa ada perbedaan antara apa yang mereka pikirkan dan rasakan dan bagaimana mereka berperilaku. Menggunakan keterampilan – keterampilan intelektual yang sedang berkembang itulah yang memungkinkan mereka mempertimbangkan kemungkinan – kemungkinan. Remaja mudah dibuat tidak puas oleh diri mereka sendiri. Mereka mengkritik sifat-sifat pribadi mereka, membandingkan diri mereka dengan yang lain dan mencoba untuk mengubah cara mereka berperilaku. Remaja seringkali juga merenungkan apakah orang lain melihat dan berfikir tentang dunia dengan cara yang sama seperti yang mereka pikirkan. Mereka menjadi lebih sadar atas keterpisahan mereka dari orang lain dan atas keunikan mereka. Mereka belajar bahwa orang lain tidak dapat sepenuhnya mengetahui apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Isu tentang siapa dan apa sebenarnya dirinya merupakan perkembangan kepribadian yang dominan pada remaja.
3. Kesimpulan
Perkembangan emosi remaja sangat berpengaruh terhadap perubahan – perubahan interaksi dengan orang tua, teman sebaya, pandangan terhadap dunia luar, dan interaksi dengan sekolah. Jika remaja dapat mengontrol emosinya maka akan terbentuk kebiasaan dan sikap mereka dalam menghadapi berbagai hal yang akhirnya akan menjadi jati diri mereka. James Marcia (1980) mengidentifikasi empat status identitas melalui interview mendalam dengan remaja. Damon (1983) telah mengikhtisarkan empat status itu menjadi . Pengalihan identitas (foreclosure), kebingungan identitas (identity diffusion), moratorium, dan pencapaian identitas (identity achievement).

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

// Copyright © SMP N 5 PATI //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //