Newest Post
// Posted by :Unknown
// On :Rabu, 20 Februari 2013
Peranan Masa Depan dalam Pembimbingan Remaja
Masalah remaja memang kompleks namun itu tidak
berarti tak teratasi. Setiap kita bisa terlibat dalam bagian tertentu
dari permasalahannya dan setiap bagian yang telah dipulihkan akan
membawa dampak positif pada bagian lainnya. Jadi, lakukanlah bagian kita
masing-masing dengan iman, pengharapan, dan kasih.
Mengungkap permasalahan remaja memerlukan
kecermatan sebab kalau tidak, kita akan terjatuh ke dalam perangkap
fokus tunggal. Upaya memetakan permasalahan remaja secara "keseluruhan"
lebih merupakan upaya menyederhanakannya daripada menjabarkannya secara
tepat. Secara pribadi saya tidak yakin kita bisa merangkumkan
"keseluruhan" permasalahan remaja dewasa ini.
Menurut pengamatan saya, permasalahan remaja
berdimensi majemuk dan setiap dimensi bukan saja terkait dengan dimensi
lainnya, ia pun berdiri sendiri sebagai masalah mandiri yang memerlukan
penanganan secara khusus dan terfokus. Dengan kata lain, saya melihat
permasalahan remaja sebagai permasalahan yang bersifat multidimensional
sekaligus idiosinkratik—setiap dimensi memiliki karakteristiknya
tersendiri. Sebagai pemerhati remaja kita tetap dapat melakukan
"sesuatu" untuk salah satu dimensi permasalahannya tanpa kehilangan
fokus pada keterkaitan antar-dimensi.
Kita bisa menyoroti remaja dari
sekurang-kurangnya tujuh dimensi, yakni Dimensi Keluarga, Dimensi
Sosial-Ekonomi, Dimensi Akademik, Dimensi Rohani, Dimensi Kebutuhan,
Dimensi Perkembangan, dan Dimensi Gangguan atau Penyimpangan. Ibarat
akar pohon, setiap dimensi—bak belalai—terkait dan tumpang tindih dengan
keenam dimensi lainnya namun setiap dimensi merupakan suatu pokok
kajian terpisah yang memerlukan penanganan secara khusus pula. Pada
makalah ini saya akan menelaah Dimensi Kebutuhan dan sudah tentu
keterkaitannya dengan dimensi lainnya pula, yakni Dimensi Kerohanian dan
Dimensi Keluarga. Pada akhirnya saya akan memberi sumbang-saran untuk
menggali potensi remaja.
Memahami Perilaku Remaja dari Kebutuhannya
Berangkat dari teori Maslow (Myers, 1986), saya
berpendapat bahwa Perilaku muncul dari Motivasi dan Motivasi berkembang
dari Kebutuhan (Figur 1). Untuk lebih mempertajam proses lahirnya
perilaku, saya melihat bahwa perilaku sebenarnya merupakan hasil
pemilihan atau pertimbangan dari alternatif-alternatif yang tersedia.
Pilihan ini dipengaruhi oleh sekurang-kurangnya empat faktor yakni: (a)
nilai moral, (b) kondisi lingkungan, (c) kemampuan untuk mewujudkan
pilihan, dan (d) kesempatan (Figur 2). Pilihan lahir dari motivasi,
yakni sasaran untuk melakukan sesuatu guna memenuhi kebutuhan yang
dirasakan.
Figur 1
Figur 2
Sebagai contoh, akibat pengalaman masa lalu
yang sarat dengan penghinaan, seorang remaja bertumbuh-kembang membawa
kebutuhan untuk berharga. Alhasil, muncullah motivasi dalam dirinya
untuk mencari dan memperoleh penghargaan itu. Di hadapannya
terbentanglah sejumlah pilihan yang kehadirannya dipengaruhi oleh
sejumlah faktor pula. Misalnya, bila ia tidak memiliki nilai moral yang
mengajarnya untuk mengasihi sesama manusia, ia mungkin terjebak dalam
pilihan untuk mementingkan diri sendiri di atas segalanya. Pilihannya
juga terbatasi oleh kondisi di mana ia hidup; bila ia hidup di Amerika
Serikat, ia tetap bisa memperoleh penghargaan bahkan sebagai tukang
kebun. Sebaliknya, di Indonesia, jabatan tukang kebun bukanlah jabatan
terhormat—setidak-tidaknya bagi sebagian orang. Misalkan, pada akhirnya
ia memutuskan untuk menjadi seorang dokter—jabatan terpandang di
masyarakat kita.
Namun, pilihannya bisa pula terpengaruh oleh
kemampuannya untuk mewujudkan keinginannya itu. Misalnya, keterampilan
atau kapasitas intelektualnya akan menentukan apakah ia dapat menjadi
seorang dokter guna memperoleh penghargaan yang didambakannya.
Terakhir, walaupun ia memiliki kemampuan intelektual untuk menjadi
seorang dokter, namun kesempatan itu tidak tersedia. Ia tidak diterima
di sekolah kedokteran sehingga akhirnya cita-citanya untuk menjadi
dokter, kandas. Sebaliknya, jika ia mampu, kondisi finansial mendukung
dan kesempatan terbuka, ia akan masuk sekolah kedokteran dan berperan
sebagai seorang pelajar.
Di sini kita bisa melihat bahwa kendati
Kebutuhan melahirkan Motivasi, tetapi ternyata Motivasi tidak secara
langsung membuahkan Perilaku. Pilihan—yang dipengaruhi oleh sederet
faktor—menjadi penentu perilaku yang dimunculkan. Selama ini, bukankah
kita telah banyak membicarakan mengenai motivasi: bagaimana memotivasi
remaja untuk belajar, untuk beribadah, untuk taat pada hukum, untuk
hidup kudus, untuk produktif dan bukannya destruktif, dan lain
sebagainya? Namun, dari kerangka pemikiran di atas ini,
setidak-tidaknya kita mulai menyadari bahwa ternyata mata rantainya
bukanlah dua—Motivasi dan Perilaku—melainkan empat, yakni: Kebutuhan,
Motivasi, Pilihan, dan Perilaku. Ada dua pengapit yang perlu mendapat
perhatian kita—Kebutuhan dan Pilihan—sebelum kita dapat memotivasi
remaja untuk berperilaku sebagaimana yang kita harapkan.
Kebutuhan akan Masa Depan yang Jelas dan bermakna
Pada makalah ini saya tidak akan membahas
kebutuhan akan cinta kasih, keamanan atau kebutuhan emosional lainnya
yang sudah tentu merupakan kebutuhan pokok remaja (Erikson, 1968; Spotts
& Veerman, 1987). Secara khusus saya hanya akan menyoroti satu
kebutuhan remaja yaitu masa depan yang jelas dan bermakna.
Berbeda dari para pendahulunya yang
berorientasi pada masa lalu sebagai faktor penyumbang terbesar terhadap
kesehatan jiwa, Allport (1955) menekankan bahwa justru masa depanlah
yang berpengaruh terhadap kesehatan jiwa seseorang. Bagi Allport,
intensi—pergerakan hidup ke sasaran tertentu di masa depan—adalah tali
pengikat yang mempersatukan kepingan-kepingan diri manusia. Dengan kata
lain, kehidupan sekarang ini tidaklah didikte oleh pengalaman masa lalu
dan manusia bukanlah penerima nasib yang pasif tak berdaya. Masa depan
yang jelas dan bermakna berandil besar pada kesehatan jiwa sekarang
ini.
Salah satu ciri perkembangan remaja adalah
kemampuan untuk berpikir abstrak dan melihat ke depan. Ketidakjelasan
masa depan berpotensi menakutkan remaja dan ketakutan ini bisa
mempengaruhi perilakunya sekarang. Masa depan yang jelas namun tidak
bermakna juga mencemaskan remaja. Tanpa masa depan yang jelas dan
bermakna, hidup lebih merupakan sebuah petualangan daripada sebuah
perjalanan. Masa depan yang jelas dan bermakna merajut
kepingan-kepingan kehidupan menjadi sebuah perjalanan yang terarah
(Allport, 1955; Frankl, 1963). Sebaliknya, masa depan yang tidak jelas
dan tidak bermakna membuat kehidupan lebih menyerupai petualangan—tanpa
sasaran dan hanya bermodalkan keberuntungan nasib. Itu sebabnya, remaja
perlu dapat memandang masa depan yang jelas sekaligus bermakna.
Masa depan yang jelas dan bermakna dapat lebih
terjamin dengan sistem kehidupan dan prasarana yang mendukung. Namun,
sistem kehidupan dan prasarana yang mendukung ternyata tidaklah cukup
untuk menciptakan masa depan yang jelas dan bermakna. Saya sudah
menyaksikan ini di Amerika Serikat. Pemerintah di sana menyediakan
pendidikan bebas biaya mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah
Lanjutan Atas. Pada tingkatan perguruan tinggi (negeri), seseorang
hanya perlu membayar sedikit biaya untuk meraih gelar sarjana. Atau,
jika ingin belajar di perguruan tinggi swasta, seseorang bisa meminjam
uang di bank dengan bunga rendah
Dan ia tidak harus mencicil balik pinjaman itu sampai setahun setelah ia menyelesaikan kuliahnya.
Ironisnya, tidak sedikit remaja di Amerika yang
terlibat dalam perilaku negatif. Penggunaan narkoba, putus sekolah,
dan tindak kriminal yang berkaitan dengan geng merupakan bagian
kehidupan remaja di sana. Beberapa tahun terakhir ini kita pun telah
dikejutkan dengan berita pembunuhan yang dilakukan oleh remaja di
Amerika. Di tengah kelimpahan prasarana dan bantuan riil, ternyata
sebagian remaja di Amerika tetap bermasalah.
Menurut pengamatan saya, yang terhilang di sini
adalah masa depan yang jelas dan bermakna—kondisi yang tidak selalu
berhubungan dengan sistem kehidupan dan prasarana yang mendukung.
Sekarang saya bisa bernapas lebih lega sebab jika itulah syaratnya, saya
kira, kita di Indonesia akan sarat dengan remaja bermasalah oleh karena
keterbatasan kita menyediakan sistem kehidupan dan prasarana yang
mendukung. Ada hal-hal lain yang mempengaruhi terciptanya masa depan
yang jelas dan bermakna; dua di antaranya adalah kerohanian dan
keluarga. Pada simpul inilah, Dimensi Kebutuhan bersinggungan dengan
Dimensi Kerohanian dan Dimensi Keluarga (Figur 3). Saya akan mengulas
kedua dimensi ini dalam kaitannya dengan kebutuhan akan masa depan yang
jelas dan bermakna.
Figur 3
Kerohanian.
Kerohanian memiliki peran yang menentukan dalam
pemunculan perilaku sebagai pemenuh kebutuhan akan masa depan yang
jelas dan bermakna. Nilai rohani yang diyakini berpotensi berfungsi
sebagai pagar yang membatasi perilaku, sedangkan kepastian akan
penyertaan Tuhan dan rencana-Nya bagi kehidupan insan yang berserah
kepada-Nya menyediakan makna hidup. Makna hidup bukan saja berfaedah
untuk membingkai pengalaman masa lalu dalam kerangka pemeliharaan Tuhan,
ia pun menempatkan masa depan dalam keterarahan dan sekaligus memberi
pengharapan akan kebaikan Tuhan.
Hilangnya masa depan yang jelas dan bermakna
dapat mengaktifkan sifat petualang remaja secara negatif. Hidup menjadi
penuh ketidakkepastian dan di dalam ketidakkepastian yang berlaku adalah
Hukum Kesempatan atau lebih tepat lagi, Keberuntungan. Petualangan
direduksi menjadi sebuah upaya pencarian keberuntungan dan fokus
utamanya adalah kesempatan—peluang yang harus dengan segera dimanfaatkan
semaksimal mungkin. Sebaliknya, di dalam kepastian dan kejelasan akan
masa depan, hukum yang berlaku adalah Hukum Imbalan berapa yang
diberikan setimpal dengan berapa yang diterima.
Kerohanian membuat kita menjadi lebih sabar
untuk menanti berkat Tuhan karena kita tahu bahwa Ia akan memelihara
hidup kita. Tanpa kerohanian, kita lebih tergoda bertindak impulsif dan
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan—alias berpetualang.
Menurut saya, kerohanian memberi sumbangsih besar terhadap keterkaitan
antara Motivasi dan Perilaku. Saya kira sudah waktunya kita meluangkan
lebih banyak perhatian dan waktu pada aspek kerohanian remaja, dan bukan
hanya pada aspek intelektual dan sosialnya.
Keluarga.
Ibarat tanah, keluarga merupakan tempat
bertumbuhnya individu. Upaya memahami dan mengoreksi perilaku remaja
lepas dari keluarganya sama dengan mencoba memadamkan kebakaran di hutan
dengan sehelai selimut. Remaja adalah produk dan bagian dari sistem
keluarganya; perubahan pada sistem keluarga memungkinkan terjadinya
perubahan pada diri dan perilaku remaja (Satir, 1983).
Keluarga mempunyai peranan yang vital dalam
penyediaan kebutuhan akan masa depan yang jelas dan bermakna. Keluarga
yang tenteram merupakan prasyarat mutlak bertumbuhnya remaja secara
maksimal; sebaliknya, ketegangan dalam keluarga akan menguras energi
mental remaja untuk berkembang sesuai usianya (Minuchin, 1974; Hart,
1991).
Secara langsung, sekurangnya ada dua kebutuhan
yang bertalian erat dengan kebutuhan akan masa depan yang jelas dan
bermakna: kebutuhan akan pengarahan dan kebutuhan akan penghargaan.
Anak memerlukan pengarahan dan akan melihat kepada orangtua untuk
mendapatkan pengarahan (Dobson, 1997). Anak butuh untuk diberitahukan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukannya, apa yang seharusnya atau
tidak seharusnya diperbuat, apa yang sanggup atau tidak sanggup
dilakukannya, dan apa itu yang menjadi kekuatan dan keterbatasannya.
Tanpa pengetahuan semua ini, anak bertumbuh besar tersesat dan melayang,
tanpa arah.
Anak juga membutuhkan penghargaan dan ia akan
menantikannya dari orangtua (Satir, 1972; McGee, 1990). Penghargaan
yang diterimanya meyakinkannya bahwa ia bernilai dan dapat berfaedah
bagi orang di sekitarnya. Penghargaan membuatnya sadar dan berterima
kasih bahwa ia dibutuhkan dalam hidup ini; penghargaan yang diterimanya
mendorongnya untuk menghargai diri secara tepat dan positif. Tanpa
penghargaan, anak bukan saja tidak tahu fungsinya dalam hidup ini, ia
pun akan merasa hampa dan tidak bernilai.
Singkat kata, sulit bagi anak untuk
mengembangkan masa depan yang jelas dan bermakna tanpa menerima
kecukupan pengarahan dan penghargaan. Dengan pengarahan dan penghargaan
yang memadai, anak akan bertumbuh menjadi remaja yang memiliki makna
hidup yang jelas dan tidak ada orang yang paling berperan pada tahap ini
selain orangtua. Keluarga menempati posisi yang penting dalam
perajutan masa depan yang jelas dan bermakna bagi remaja. Sekali lagi,
semua usaha untuk membenahi permasalahan remaja lepas dari keluarganya
sama dengan memadamkan kebakaran di hutan dengan sehelai selimut.
Memberdayakan Potensi Remaja
Sedikit mengulang yang telah kita bahas sejauh
ini, pada dasarnya saya melihat bahwa Perilaku merupakan buah akhir dari
Kebutuhan. Kebutuhan, sebagai pangkal penggerak manusia melahirkan
Motivasi tetapi ternyata Motivasi tidak langsung menghasilkan Perilaku.
Sebelum Perilaku, kita mempunyai Pilihan dan Pilihan menentukan perilaku
yang akan kita munculkan.
Mengeksplorasi Pilihan
Sebagaimana telah saya utarakan di atas, ada empat faktor yang mempengaruhi proses penentuan pilihan, yaitu:
- nilai moral,
- kesempatan,
- kondisi lingkungan dan
- kemampuan untuk mewujudkan pilihan.
Figur 4
Nilai moral.
Pendidikan nilai moral wajib diajarkan kepada
remaja secara konkret dan relevan dengan keadaan nyata. Contoh langsung
dan situasi yang menuntut respons yang bersifat etis harus menempati
porsi yang besar dalam pendidikan nilai moral. Menurut saya, hanya
dengan cara inilah remaja baru melihat kegunaan dan relevansi agama
dalam kehidupan mereka.
Pendidikan nilai moral tidak mungkin diajarkan
secara efektif bila si pengajar sendiri bukanlah orang yang mementingkan
perkara rohani. Contoh kehidupan barulah nyata jika diberitakan oleh
orang yang mengalaminya sendiri. Dengan kata lain, apabila kita
menghendaki agar remaja memiliki kerohanian yang baik, kita pun perlu
memberi contoh itu kepada mereka. Jika kita mengharapkan remaja untuk
hidup dipandu—bukan di luar—nilai moralnya, kita pun harus hidup
konsisten dengan keyakinan rohani kita. Saya kira tidaklah adil
menyalahkan remaja atas kehidupan imoralnya bila kita sendiri tidak
hidup seperti itu.
Pada dasarnya kita perlu menghidupkan atmosfer
rohani di lingkungan hidup remaja melalui ibadah yang bersifat personal,
bukan ritual semata. Remaja harus memiliki relasi dan
pertanggung-jawaban pribadi kepada Tuhan sebelum bisa menundukkan diri
pada perintah-Nya dan mewujudkan pilihan yang benar.
Kesempatan.
Pada bagian selanjutnya saya baru membicarakan
tentang kesempatan yang dapat diusahakan manusia. Kesempatan yang saya
maksud di sini lebih mengacu kepada aspek rohani, yakni kesempatan yang
Tuhan berikan. Di dalam dunia dagang pada umumnya orang mengakui
keabsahan faktor keberuntungan. Saya lebih suka menyebutnya, kesempatan.
Kita bisa bekerja sekeras mungkin dan mengupayakan jalan
sebanyak-banyaknya namun tanpa faktor kesempatan (yang dari Tuhan), kita
tidak akan mencapai tujuan. Firman Tuhan yang tertera di Amsal 10:22
menegaskan kebenaran ini, "berkat Tuhan yang menjadikan kaya, susah
payah tidak akan menambahinya."
Remaja yang bergantung pada kekuatan sendiri
untuk meraih keberhasilannya berpotensi menjadi petualang. Sebagaimana
telah saya singgung di atas, faktor petualang menjadi bertambah besar
tatkala kejelasan akan masa depan yang bermakna, berkurang. Remaja
dapat belajar untuk bergantung pada pemeliharaan Tuhan yang akan
memberinya kesempatan. Pada akhirnya remaja perlu menerima fakta bahwa
sesungguhnya manusia tidak bisa menciptakan kesempatan; manusia hanyalah dapat mempersiapkan diri untuk menyambut
kesempatan. Kesempatan adalah sesuatu yang diberikan (oleh Tuhan) dan
pada dasarnya kita tidak dapat mencari-cari kesempatan. Remaja yang
berpetualang adalah remaja yang mencari-cari kesempatan dalam hidup dan
orang yang mencari-cari kesempatan pada suatu ketika akan menabrak
tembok.
Konsep kesempatan dari kerangka ilahi merupakan
cara pandang yang sangat mempengaruhi sikap dan tindakan kita. betapa
mudahnya kita menyalahkan (dan membenci) orang lain yang lebih beruntung
dari kita karena kita menganggap bahwa kesempatan itu bersumber dari
manusia. Sekali lagi, menurut saya, manusia tidak menciptakan
kesempatan namun manusia bertanggung jawab untuk mempersiapkan diri
sebaik-baiknya guna menyambut kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita.
Dan saya percaya, Tuhan lebih sering dan lebih senang memberikan
kesempatan kepada orang yang telah mempersiapkan diri untuk menerima
kesempatan.
Remaja mudah terperosok ke dalam hidup
berpetualang jika mereka hanya melihat kesempatan sebagai hadiah dari
manusia kepada manusia lainnya. Kita perlu menekankan kepada remaja
bahwa tugas mereka ialah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, artinya
mendayagunakan dan memaksimalkan karunia dan kesempatan yang Tuhan telah
berikan sejauh ini. Tanpa pemahaman yang seperti ini, remaja rawan
untuk memilih tindakan yang melenceng guna memenuhi kebutuhannya akan
masa depan yang jelas dan bermakna.
Kondisi lingkungan.
Sebagai makhluk sosial, remaja hidup di
tengah-tengah sesamanya—keluarga dan orang di sekitarnya, yang secara
berurut mencerminkan besaran pengaruhnya pada pertumbuhan remaja.
Sebagaimana telah saya singgung di atas, upaya menangani masalah remaja
haruslah mencakup unsur keluarganya. Salah satu gejala yang lebih umum
kita saksikan dewasa ini adalah kekurangterlibatan orangtua dalam
kehidupan remaja. Ironisnya adalah, orangtua hanya terlibat tatkala
remaja sudah menjadi masalah—dan pada tahap ini usaha perawatannya akan
lebih menemui banyak perlawanan.
Erickson (1968) menekankan bahwa fase remaja
merupakan fase pembentukan jatidiri dan kegagalan melalui fase ini
dengan baik mengakibatkan munculnya reaksi kebingungan peran. Secara
sekilas teori Erickson seolah-olah mengatakan bahwa proses pembentukan
jatidiri baru dimulai pada fase remaja. Sesungguhnya, teori Erickson
justru mengemukakan bahwa proses pertumbuhan—termasuk di dalamnya
pembentukan jatidiri—merupakan sebuah proses yang berkesinambungan di
mana setiap fase mempengaruhi fase berikutnya dan setiap fase
dipengaruhi oleh fase sebelumnya. Dengan kata lain, pembentukan jati
diri tidak berhulu pada usia remaja; proses ini sudah beranjak jauh
sebelumnya; ia hanya memasuki tahap penyempurnaan atau kematangannya
pada usia remaja.
Dalam pertumbuhannya, setidak-tidaknya seorang anak akan melewati dua fase pembentukan jatidiri—fase sebelum remaja dan fase remaja. Pada fase sebelum remaja,
anak akan mendefinisikan dirinya melalui tanggapan-tanggapan yang
diterima dari orangtua. Pada fase remaja, ia mendefinisikan dirinya
lewat respons-respons yang diberikan oleh teman-temannya. Apabila ia
telah mendefinisikan dirinya secara positif—akibat perlakuan orangtua
yang positif terhadapnya—ia pun cenderung untuk menemukan lingkungan
pergaulan yang sesuai dengan definisi dirinya yang positif. Sebaliknya,
jika ia mempunyai definisi diri yang telanjur negatif—akibat perlakuan
orangtua yang negatif terhadapnya—ia juga cenderung akan mencari teman
pergaulan yang sepadan dengan definisi dirinya yang negatif. Dengan
kata lain, pada masa remaja, anak akan mencari habitat yang cocok dengan
definisi dirinya.
Syukur kepada Tuhan, meski berakar, definisi
diri merupakan sebuah entitas yang elastik—dapat dan akan berubah
seturut dengan pengalaman hidup. Di sinilah terbuka pintu masuk bagi
kita sebagai pemerhati remaja untuk menciptakan kesempatan bagi remaja
untuk me-redefinisi dirinya dan kita bisa melakukannya melalui dua
jalur. Pertama, masuk ke dalam kehidupan keluarganya dan mengajarkan
mereka untuk mengubah perlakuan negatif terhadap anak dan membuatnya
positif. Kedua, kita dapat pula menciptakan habitat yang berbeda untuk
remaja—habitat yang positif dan secara perlahan akan mengubah definisi
dirinya.
Jalur pertama dapat dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung misalnya lewat
ceramah keluarga atau khotbah di mimbar. Secara langsung, misalnya
melalui terapi keluarga atau kelompok pendukung (support group)
yang kita tawarkan kepada orangtua yang berminat. Jalur kedua bisa
diselenggarakan melalui aktivitas bersama, misalnya pelbagai kelompok
kreativitas, pecinta alam, sains, kegiatan rohani dan sosial. Kuncinya
di sini ialah kegiatan—segala kegiatan yang bersifat nonakademik di mana
remaja berkesempatan memunculkan serta mendayafungsikan diri secara
lebih luas.
Kemampuan untuk mewujudkan pilihan.
Ada
beberapa tahapan menuju pada kemampuan untuk mewujudkan pilihan dan
semua ini sekaligus merupakan tugas serta peranan kita sebagai pemerhati
remaja. Pertama, identifikasi talenta. Pada tahap ini remaja
memerlukan bimbingan agar ia dapat melihat bidang keahliannya dan
keterbatasannya. Saya menyarankan agar tes dan bimbingan bakat atau
karier diberikan kepada siswa selambat-lambatnya pada level SLTA II.
Pengenalan bakat akan memberi arah (sense of direction) kepada remaja dan menambah motivasi untuk menjadi seseorang orang berguna.
Kedua, persiapan yang realistik. Pada
tahap ini remaja membutuhkan pengarahan bagaimana mencapai target yang
diharapkan. Kata "realistik" saya gunakan untuk menegaskan perlunya
penentuan langkah yang dapat dicapai, bukan hanya yang ingin dicapai.
Kesulitan biaya atau kurangnya dukungan keluarga sering kali merupakan
kendala yang membatasi kemampuan remaja merealisasikan pilihannya. Itu
sebabnya pembimbing remaja harus bekerja di dalam keterbatasan
ini, bukan di luarnya. Misalkan, jauh-jauh hari kita bisa menasehatinya
untuk tidak menikah pada usia muda agar ia dapat menabung untuk
sekolahnya kelak. Dengan kata lain, pada tahap ini, remaja perlu
menerima bimbingan untuk mulai merencanakan masa depannya. Masa depan
yang jelas dan bermakna harus diawali oleh perencanaan dan persiapan
yang matang.
Terakhir, pengambilan langkah bertangga.
bagi yang memiliki dukungan keluarga dan finansial, pengambilan
langkah dapat dilaksanakan secara serentak. bagi yang tidak mempunyai
dukungan-dukungan ini, acap kali pengambilan langkah harus dilakukan
secara bertahap—bak menaiki anak tangga. Misalkan, jika remaja tidak
mempunyai kemampuan finansial untuk memasuki perguruan tinggi, kita bisa
menyarankannya untuk memulai langkah ke sana (ke perguruan tinggi)
dengan bekerja terlebih dahulu selama setahun. Setelah biaya terkumpul,
ia bisa menyelesaikan program D-1, kemudian bekerja kembali selama
setahun sebelum menyelesaikan program D-2, dan seterusnya.
Kuncinya di sini adalah pembimbingan yang
berkesinambungan. Remaja memerlukan pengarahan agar dapat merancang dan
mempersiapkan masa depan. Tanpa perencanaan dan persiapan yang
memadai, remaja akan mengalami kesukaran merealisasikan pilihannya,
apalagi jika ia tidak menerima dukungan keluarga.
Kesimpulan
Jiwa petualang bisa berkonotasi positif dan
negatif. Dalam makalah ini saya menggunakannya secara negatif yakni
jiwa yang tidak mempunyai pegangan dan bergerak tanpa arah. Jiwa
petualang membutuhkan masa depan yang jelas dan bermakna; tugas kita
sebagai pemerhati remaja adalah membimbingnya agar dapat "menemukan"
masa depan yang jelas dan bermakna.
Ada empat hal yang dapat kita lakukan yang akan
membantu remaja menentukan pilihan yang tepat untuk tindakannya.
Pertama, menanamkan nilai moral agar pilihan yang dibuatnya berpagarkan
tonggak-tonggak rohani. Kedua, mengajaknya bersandar pada Tuhan yang
memberi kesempatan dan belajar menerima bagian yang Ia tentukan.
Ketiga, memperbaiki kondisi lingkungannya—termasuk keluarga—agar dapat
menciptakan diri yang positif. Keempat, mempersiapkannya untuk bisa
mencapai tujuan hidupnya.
Masalah remaja memang kompleks namun itu tidak
berarti tak teratasi. Setiap kita bisa terlibat dalam bagian tertentu
dari permasalahannya dan setiap bagian yang telah dipulihkan akan
membawa dampak positif pada bagian lainnya. Jadi, lakukanlah bagian
kita masing-masing dengan iman, pengharapan, dan kasih.